Get Adobe Flash player
Heriadi al hifni 08 Januari 2010 0 komentar

02 SEPTEMBER 2009
Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari, Ulama
Besar dari Kalimantan
Selatan
Nama Syekh Muhammad Arsyad
Al Banjari hingga kini masih
melekat di hati masyarakat
Martapura, Kalimantan Selatan,
meski putra Banjar kelahiran
Desa Lok Gabang, 19 Maret 1710
M, itu telah meninggal sejak 1812
M silam. Ia meninggalkan banyak
jejak dalam bentuk karya tulis di
bidang keagamaan. Karya-
karyanya bak sumur yang tak
pernah kering untuk digali
hingga generasi kini. Tak
mengherankan bila seorang
pengkaji naskah ulama Melayu
berkebangsaan Malaysia
menjulukinya sebagai ‘Matahari
Islam Nusantara’. ‘Matahari’ itu
terus memberikan pencahayaan
bagi kehidupan umat Islam.
Syekh Muhammad Arsyad Al-
Banjari, tulis situs wikipedia,
adalah pelopor pengajaran
Hukum Islam di Kalimantan
Selatan. Ia sempat menuntut
ilmu-ilmu agama Islam di
Mekkah. Sekembalinya ke
kampung halaman, hal pertama
yang dikerjakannya adalah
membuka tempat pengajian
(semacam pesantren) bernama
Dalam Pagar.
Kisah tempat pengajian ini
diuraikan dalam buku seri
pertama Intelektual Pesantren:
Potret Tokoh dan Cakrawala
Pemikiran di Era Pertumbuhan
Pesantren, terbitan Diva Pustaka,
Jakarta. Mulanya, tulis buku itu,
lokasi ini berupa sebidang tanak
kosong yang masih berupa
hutan belukar pemberian Sultan
Tahmid Allah, penguasa
Kesultanan Banjar saat itu. Syekh
Arsyad menyulap tanah tersebut
menjadi sebuah perkampungan
yang di dalamnya terdapat
rumah, tempat pengajian,
perpustakaan, dan asrama para
santri.
Sejak itu, kampung yang baru
dibuka tersebut didatangi oleh
para santri dari berbagai pelosok
daerah. Kampung baru ini
kemudian dikenal dengan nama
kampung Dalam Pagar. Di situlah
diselenggarakan sebuah model
pendidikan yang
mengintegrasikan sarana dan
prasarana belajar dalam satu
tempat yang mirip dengan model
pesantren. Gagasan Syekh
Muhammad Arsyad ini
merupakan model baru yang
belum ada sebelumnya dalam
sejarah Islam di Kalimatan masa
itu.
Pesantren yang dibangun di luar
kota Martapura ini bertujuan
untuk menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi proses
belajar mengajar para santri.
Selain berfungsi sebagai pusat
keagamaan, di tempat ini juga
dijadikan pusat pertanian. Syekh
Muhammad Arsyad bersama
beberapa guru dan muridnya
mengolah tanah di lingkungan
itu menjadi sawah yang
produktif dan kebun sayur, serta
membangun sistem irigasi untuk
mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun
sistem pendidikan model
pesantren, Syekh Muhammad
Arsyad juga aktif berdakwah
kepada masyarakat umum, dari
perkotaan hingga daerah
terpencil. Kegiatan itu pada
akhirnya membentuk perilaku
religi masyarakat. Kondisi ini
menumbuhkan kesadaran untuk
menambah pengetahuan agama
dalam masyarakat.
Dalam menyampaikan ilmunya,
Syekh Muhammad Arsyad
sedikitnya punya tiga metode.
Ketiga metode itu satu sama lain
saling menunjang. Selain dengan
cara bil hal, yakni keteladanan
yang direfleksikan dalam tingkah
laku, gerak gerik, dan tutur kata
sehari-hari yang disaksikan
langsung oleh murid-muridnya,
Syekh Muhammad Arsyad juga
memberikan pengajaran dengan
cara bil lisan dan bil kitabah.
Metode bil lisan dengan
mengadakan pengajaran dan
pengajian yang bisa disaksikan
diikuti siapa saja, baik keluarga,
kerabat, sahabat, maupun handai
taulan, sedangkan metode bil
kithabah menggunakan
bakatnya di bidang tulis menulis.
Dari bakat tulis menulisnya, lahir
kitab-kitab yang menjadi
pegangan umat. Kitab-kitab
itulah yang ia tinggal setelah
Syekh Muhammad Arsyad utup
usia pada 1812 M, di usia 105
tahun. Karya-karyanya antara
lain, Sabilal Muhtadin, Tuhfatur
Raghibiin, Al Qaulul Mukhtashar,
di samping kitab Ushuluddin,
kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab
Faraidh, dan kitab Hasyiyah
Fathul Jawad. Karyanya paling
monumental adalah kitab Sabilal
Muhtadin yang kemasyhurannya
tidak sebatas di daerah
Kalimantan dan Nusantara, tapi
juga sampai ke Malaysia, Brunei,
dan Pattani (Thailand Selatan).
Anak Cerdas dari Lok Gabang
Sekali waktu, Sultan Kerajaan
Banjar, Sultan Tahmidullah,
berkunjung ke kampung-
kampung yang ada di
wilayahnya. Tiba kampung Lok
Gabang, ia terkesima melihat
lukisan yang indah. Setelah
bertanya, dia mengetahui
pelukisnya bernama Muhammad
Arsyad, seorang anak berusia
tujuh tahun. Tertarik dengan
kecerdasan dan bakat anak kecil
itu, Sultan berniat mengasuhnya
di istana.
Mulanya, Abdullah dan Siti
Aminah, kedua orangtua Arsyad,
enggan melepas anak sulungnya
itu. Tapi atas pertimbangan masa
depan si buah hati, keduanya
pun menganggukkan kepala. Di
istana, Arsyad kecil bisa
membawa diri, selalu
menunjukkan keluhuran budi
pekertinya. Sifat-sifat terpuji itu
membuat ia disayangi warga
istana. Bahkan, Sultan
memperlakukannya seperti anak
kandung.
Beranjak dewasa, Arsyad
dikawinkan dengan Bajut,
seorang perempuan yang
solehah. Ketika Bajut tengah
mengandung anak pertama,
terlintas di benak Arsyad untuk
menuntut ilmu di Tanah Suci
Mekkah. Sang istri tidak
keberatan demi niat suci suami,
meski dengan perasaan berat.
Setelah mendapat restu Sultan,
Arsyad berangkat untuk
mewujudkan cita-citanya.
Begitulah sepenggal kisah
perjalanan hidup Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari,
ulama besar kelahiran Lok
Gabang, Martapura, 19 Maret
1710 M. Ia adalah pengarang
Kitab Sabilal Muhtadin yang
banyak menjadi rujukan Hukum
Fiqih di Asia Tenggara.
Perdalam Ilmu Agama
Di Tanah Suci, Arsyad
memperdalam ilmu agama. Guru-
gurunya, antara lain Syekh
Athoillah bin Ahmad al Mishry, al
Faqih Syekh Muhammad bin
Sulaiman al Kurdi, dan al 'Arif
Billah Syekh Muhammad bin Abd
Karim al Samman al Hasani al
Madani. Namanya terkenal di
Mekkah karena keluasan ilmu
yang dimiliki, terutama ilmu
Qiraat. Ia bahkan mengarang
kitab Qiraat 14 yang bersumber
dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap
juz kitab tersebut dilengkapi
dengan kaligarafi khas Banjar.
Menurut riwayat, selama belajar
di Mekkah dan Madinah, Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari
belajar bersama tiga orang
Indonesia lainnya: Syekh Abdul
Shomad al Palembani
(Palembang), Syekh Abdul Wahab
Bugis, dan Syekh Abdul Rahman
Mesri (Betawi). Mereka berempat
dikenal dengan ‘Empat Serangkai
dari Tanah Jawi’ yang sama-sama
menuntut ilmu di al Haramain al
Syarifain. Belakangan, Syekh
Abdul Wahab Bugis kemudian
menjadi menantunya karena
kawin dengan anak pertama
Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari.
Setelah lebih dari 30 tahun
menuntut ilmu, timbul hasratnya
untuk kembali ke kampung
halaman. Sebelum sampai di
tanah kelahirannya, Syekh Arsyad
singgah di Jakarta. Ia menginap
di rumah salah seorang
temannya waktu belajar di
Mekkah. Bahkan, menurut
kisahnya, Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari sempat
memberikan petunjuk arah kiblat
Masjid Jembatan Lima di Jakarta
sebelum kembali ke Kalimantan.
Ramadhan 1186 H bertepatan
dengan 1772 M, Syekh Arsyad
tiba di kampung halamannya di
Martapura, pusat Kerajaan Banjar
masa itu. Raja Banjar, Sultan
Tamjidillah, menyambut
kedatangannya dengan upacara
adat kebesaran. Segenap rakyat
mengelu-elukannya sebagai
seorang ulama ‘Matahari Agama’
yang cahayanya diharapkan
menyinari seluruh Kerajaan
Banjar.
Syekh Arsyad aktif melakukan
penyebaran agama Islam di
Kalimantan. Tak hanya dalam
bidang pendidikan dengan
mendirikan pesantren lengkap
sarana dan prasarananya,
termasuk sistem pertanian untuk
menopang kehidupan para
santrinya, tapi juga berdakwah
dengan mengadakan pengajian,
baik di kalangan istana maupun
masyarakat kelas bawah.
Lebih 40 tahun Syekh Arsyad
melakukan penyebaran Islam di
daerah kelahirannya, sebelum
maut menjemputnya. Dia
meninggal pada 1812 M di usia
105 tahun. Sebelum wafat, dia
sempat berwasiat agar jasadnya
dikebumikan di Kalampayan bila
sungai dapat dilayari atau di
Karang Tengah, tempat istrinya,
Bujat, dimakamkan bila sungai
tidak bisa dilayari. Namun karena
saat meninggal air sedang surut,
maka ia dikebumikan
Kalampayan, Astambul, Banjar,
Kalimantan Selatan. Di daerah
yang terletak sekitar 56 km dari
kota Banjarmasin itulah jasad
Datuk Kalampayan – panggilan
lain anak cerdas kelahiran Lok
Gabang – ini dikebumikan.
Sabil Al-Muhtadin
Alasan utama penulisan kitab ini
oleh Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari, karena adanya kesulitan
umat Islam Banjar dalam
memahami kitab-kitab fikih yang
ditulis dalam bahasa Arab.
Buku-buku yang membahas
masalah fikih (ibadah shalat,
zakat, puasa, dan haji) di
Indonesia cukup banyak.
Jumlahnya bisa mencapai ribuan,
baik yang ditulis ulama asal
Timur Tengah, ulama Nusantara,
maupun para ilmuwan
kontemporer yang memiliki
spesifikasi tentang keilmuan
dalam bidang fikih atau hukum
Islam.
Dari berbagai buku-buku fikih
yang ada, salah satunya adalah
kitab Sabil al-Muhtadin li al-
Tafaqquh fi Amr Al-Din (Jalan
bagi orang-orang yang
mendapat petunjuk agar menjadi
faqih (alim) dalam urusan agama.
Kitab ini ditulis dalam bahasa
Arab-Melayu dan merupakan
salah satu karya utama dalam
bidang fikih bagi masyarakat
Melayu. Kitab ini ditulis setelah
Syekh Muhammad Arsyad
mempelajari berbagai kitab-kitab
fikih yang ditulis para ulama
terdahulu, seperti kitab Nihayah
al-Muhtaj yang ditulis oleh Syekh
al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh
Minhaj oleh Syekh al-Islam
Zakaria al-Anshary, kitab Mughni
oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab
Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh
Ibnu Hajar al-Haitami, kitab
Mir ’atu al-Thullab oleh Syekh
Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab
Shirat al-Mustaqim karya
Nurruddin al-Raniri.
Selain itu, ada alasan utama yang
dilakukan Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari saat menulis
kitab ini. Sebuah sumber
menyebutkan, pada awalnya,
keterbatasan (kesulitan) umat
Islam di Banjar (Melayu) dalam
mempelajari kitab-kitab fikih
yang berbahasa Arab. Maka itu,
masyarakat Islam di Banjar
berusaha mempelajari fikih
melalui kitab-kitab berbahasa
Melayu. Salah satunya adalah
kitab Shirat al-Mustaqim yang
ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.
Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-
Raniri ini juga ditulis dalam
bahasa Arab-Melayu yang lebih
bernuansa bahasa Aceh. Namun,
hal itu juga menimbulkan
kesulitan bagi masyarakat Islam
Banjar untuk mempelajarinya.
Oleh karena itu, atas permintaan
Sultan Banjar (Tahmidullah),
Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari kemudian menuliskan
sebuah kitab fikih dalam bahasa
Arab-Melayu yang lebih mudah
dipahami masyarakat Islam
Banjar.
Dalam mukadimah kitab Sabil al-
Muhtadin, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari menyatakan
bahwa karya ini ditulis pada
1193/1779 M atas permintaan
Sultan Tahmidullah dan
diselesaikan pada 1195/1781 M.
Secara umum, kitab ini
menguraikan masalah-masalah
fikih berdasarkan mazhab Syafi’i
dan telah diterbitkan oleh Darul
Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab
Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas
dua jilid.
Seperti kitab fikih pada
umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin
ini juga membahas masalah-
masalah fikih, antara lain, ibadah
shalat, zakat, puasa, dan haji.
Kitab ini lebih banyak
menguraikan masalah ibadah,
sedangkan muamalah belum
sempat dibahas. Walaupun
begitu, kitab ini sangat besar
andilnya dalam usaha Syekh
Arsyad menerapkan hukum Islam
di wilayah Kerajaan Banjar sesuai
anjuran Sultan Tahmidullah yang
memerintah saat itu.
Kontekstual
Menurut Najib Kailani,
koordinator Bidang Media dan
Budaya, Lembaga Kajian Islam
dan Sosial (LKiS) Yogyakarta,
dalam artikelnya yang berjudul
"Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-
Muhtadin," menyatakan,
” Meskipun ditulis pada abad
ke-18, terdapat banyak sekali
pemikiran cemerlang Syekh
Arsyad dalam kitab ini yang
sangat kontekstual di era
sekarang. Satu di antara gagasan
brilian di dalam kitab Sabil al-
Muhtadin adalah pandangan
beliau tentang zakat. ”
Dicontohkan Kailani, pada pasal
tentang orang-orang yang
berhak menerima zakat
(mustahik), terdapat pandangan
dan pemikiran Syekh Muhammad
Arsyad yang sangat progresif
dan melampaui pemikiran
ilmuwan pada zaman itu.
Syekh Arsyad al-Banjari
menyatakan, ”Fakir dan miskin
yang belum mampu bekerja baik
sebagai pengrajin maupun
pedagang, dapat diberikan zakat
sekira cukup untuk
perbelanjaannya dalam masa
kebiasaan orang hidup. Misalnya,
umur yang biasa ialah 60 tahun.
Kalau umur fakir atau miskin itu
sudah mencapai 40 tahun dan
tinggal umur biasa (harapan
hidup) 20 tahun. Maka, diberikan
zakat kepadanya, sekira cukup
untuk biaya hidup dia selama 20
tahun. ”
Dan, yang dimaksud dengan
diberi itu bukan dengan emas
maupun perak yang cukup untuk
masa itu, tetapi yang bisa
dipergunakan untuk membeli
makan dalam masa yang
disebutkan di atas. Maka,
hendaklah dibelikan dengan
zakat tadi dengan izin Imam,
seperti kebun yang sewanya
memadai atau harga buahnya
untuk belanjanya di masa sisa
umur manusia secara umum
agar ia menjadi mampu dengan
perantaraan zakat. Lalu, kebun
itu dimiliki dan diwariskannya
kepada keluarganya karena
kemaslahatannya kembali
kepadanya dan kepada mustahik
yang lain. Inilah tentang fakir dan
miskin yang tidak mempunyai
kepandaian dan tidak bisa
berdagang.
Menurut Kailani, pandangan
Syekh Muhammad Arsyad al-
Banjari ini, tampak telah
melampaui zamannya. ”Sangat
jelas bahwa pijakan gagasan ini
adalah konsep kemaslahatan
umum (maslahah al-ammah), di
mana zakat tidak sekadar
dimaknai sebagai pemberian
karitatif, lebih jauh ia merupakan
satu mekanisme keadilan sosial,
yaitu supaya harta tidak hanya
terputar di kalangan orang kaya
semata, ” ujar Kailani.
”Beliau memberi contoh dengan
pengelolaan kebun yang
manfaatnya bisa menghidupi
keluarga sang penerima zakat
dan seterusnya, sampai anak
cucunya dan penerima zakat
lainnya. Pandangan ini tampak
sejalan dengan konsep negara
kesejahteraan (welfare-state) di
Eropa, di mana negara menjamin
kesejahteraan warga negaranya
yang belum memperoleh
pekerjaan layak, ” tambahnya.
Beberapa ijtihad zakat sudah
digulirkan para pemikir Muslim
kontemporer, seperti Yusuf al-
Qaradhawi tentang zakat profesi
atau Masdar Farid Mas ’udi
mengenai zakat yang
ditransformasikan menjadi pajak
dan lain sebagainya. Mengangkat
kembali gagasan Syekh Arsyad
dalam konteks kini, paling tidak
mendorong kembali upaya-
upaya reinterpretasi kontekstual
makna zakat dalam kehidupan
Muslim kontemporer.
Berdasarkan contoh di atas, kata
Kailani, tentunya sangat penting
bagi umat Islam di Indonesia
untuk menelisik ulang khazanah
tradisi Islam Nusantara yang
ditulis oleh ulama-ulama besar
sejak abad ke-13 hingga ke-20,
saat banyak gagasan cemerlang
yang terlontar melampaui
zamannya.
Seperti diketahui, kitab Sabil al-
Muhtadin ini tak hanya menjadi
referensi ilmu fikih bagi umat
Islam di Banjar (Kalimantan
Selatan), tetapi juga bagi
masyarakat Melayu lainnya,
seperti Brunei Darussalam,
Malaysia, hingga Thailand.
”Sudah saatnya kita membuang
sikap apriori terhadap tradisi
klasik, terutama karya-karya
ulama Nusantara sebagai
ketinggalan zaman dan tidak
sesuai dengan problem kekinian.
Dari contoh gagasan Syekh
Arsyad di atas, menyadarkan kita
betapa banyak kekayaan
gagasan Islam Nusantara yang
bisa dikembangkan kembali
untuk konteks keindonesiaan
sekarang, ” kata Kailani.
Hal ini sejalan dengan gagasan
dan pemikiran yang dilakukan
oleh Departemen Agama yang
kini tengah mentahkik karya-
karya ulama Nusantara.
Tujuannya, agar umat Islam
Indonesia mengenal dengan baik
ulama-ulama Nusantara dan
karya-karyanya.

Read More

Pages

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Category List

Followers

Categories

Site Info

Kunjungi terus blog ini, kritik dan saran teman-teman sangat saya butuhkan supaya ke depan nanti blog ini bisa lebih berkembang dengan sebaik-baiknya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman semua, tanpa kalian blog ini tidak ada apa-apa. ^_^